Pendidikan
bukanlah kata yang asing bagi Anda semua. Pendidikan sudah merupakan sesuatu
yang penting di dunia ini dan pendidikan yang membuat dunia ini berkembang
pesat, terutama di negara bagian Barat. Di Indonesia, pendidikan juga sudah
menjadi bagian penting untuk berkembangnya tanah Air. Akan tetapi, pendidikan
di Tanah Air ini masih rancu. Jika, kita flashback tentang
pendidikan di Tanah Air ini pada zaman kerajaan Hindu dan Budha. Sebelum
datangnya bangsa Eropa ke negeri kita ini, Nusantara sudah dikenal dunia
sebagai pusat pendidikan, pengajaran, dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Khususnya, pada zaman kerajaan Hindu dan Budha. selanjutnya, diteruskan oleh
zaman kerajaan Islam. Jika, ditelusuri pendidikan di Tanah Air ini sudah memiliki
usia yang cukup panjang. Mulai dari zaman kerajaan hingga kini, pendidikan dari
zaman ke zaman sudah memperlihatkan terjadinya pergeseran pandangan masyarakat
terhadap pendidikan.
Suwardi
Suryaningrat (1889-1959) adalah tokoh zaman pergerakan. Ia dikenal sebagai
Bapak Pendidikan Nasional. Ia mengalami masa pembuangan di Belanda (1913-1919)
sebagai konsekuensi dan pilihan terlibat dalam kelompok nasionalis radikal
Indische Partij (Partai Hindia) bersama Douwes Dekker Setiabudi (1879-1950) dan
Cipto Mangunkusumo. Selama menjalani pengasingan, bangsawan keturunan
Pakualaman ini mencurahkan perhatiannya pada gerakan pendidikan.
Pada
tahun 1992, Suwardi Suryaningrat, mendirikan Pawiyatan Taman Siswa. Ia memilih
nama Taman Siswa sebagai sekolah karena sekolah berartikan mengisi waktu luang
dan menjadi taman Siswa. Ia berpendapat TK-SD merupakan masa emas dan SMP
adalah taman dewasa (wirama) yang berisi pengetahuan dan kultural
(kemasyarakatan) dengan mengajarkan tari, teater, musik, seni, dll. Suwardi Suryadiningrat,
sejak mengurus Taman Siswa, berganti nama menjadi Ki Hajar dewantara. Pada
tahun 1924 Taman Siswa menerima murid setingkat MULO dan SPG. Taman Siswa tidak
menerapkan kurikulum pemerintah kolonial Belanda dan juga tidak menerima
subsidi karena ia mengutamakan kebebasan. Pada tahun 1932 Taman Siswa telah
memiliki 166 sekolah dan 11.000 murid yang tersebar sampai luar Yogyakarta.
Tanggal
lahir Ki Hajar Dewantara, 2 Mei, dan sekarang diperingati sebagai Hari Pendidikan
Nasional. Ki Hajar Dewantara memiliki Visi: Ing ngarsa sing tulada. Ing madya
mangun karsa. Tut wuri handayani. Pemimpin itu identik dengan keteladanan.
Manajer identik dengan kehendak yang kuat untuk maju dan anak buah adalah
pendukung yang memberdayakan. Misi Ki hajar Deantara 3A: Asah-Asih-Asuh. Asah
maksudnya kegiatan pembelajaran mesti esensial dan bermakna. Asih berarti
kelemahan lembutan cinta pendidik yang merawat murid (nurturing love) dalam
pembelajaran. Asuk maknanya inti kegiatan pendidikan pedagogi. Proses
pendampingan orang dewasa terhadap kaum muda dalam fase tumbuh kembang (Sumardianta, J.
2013. “Pudarnya Kultur Asah-Asih-Asuh”.)
Dewasa
ini, masyarakat umumnya dikalangan anak usia dini terutama di daerah pedesaan.
Banyak yang masih tidak sekolah, khususnya untuk keluarga yang tidak mampu.
Kondisi masyarakat tersebut, memiliki kepesimisan dalam hal pendidikan. Apakah
ini dipengaruhi oleh mahalnya pendidikan? Ataukah karena memang mereka
menganggap pendidikan itu tidak penting? Banyak masyarakat pedesaan yang menganggap
pendidikan itu tidak penting karena mereka berprinsip untuk apa pendidikan toh
nanti juga anak-anak kami akan meneruskan kami menjadi petani. Ini dikarenakan,
bahwa mereka berpikir dengan konsep teori tradisional. Di lain pihak,
pendidikan di Indonesia memang masih tergolong mahal, meskipun sudah ada dana
BOS dari pemerintah. Akan tetapi, dana BOS hanya untuk sekolah-sekolah negeri.
Sedangkan, masih banyak masyarakat yang tidak dapat masuk ke sekolah-sekolah
negeri karena terlalu sulit. Hal tentang pendidikan ini mesti ditindak lanjuti
karena memang bukan hanya di pedesaan saja yang masih kurang tentang
pendidikan. Akan tetapi, di Ibukota juga masih kurang tentang pendidikan, masih
banyak anak-anak sekolah yang ikut tawuran, bolos, judi, minum, balapan liar,
dll. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Apa karena mereka kurang mendapatkan
pelajaran di sekolah? Juga masih banyak lulusan SMP yang lebih memilih untuk
masuk sekolah swasta daripada sekolah negeri. Khususnya, untuk anak-anak yang
kurang mampu. Mereka lebih memilih masuk swasta karena mereka masih menganggap
masuk sekolah negeri itu sulit.
Paradigma
pemimpin baru sebatas Ing Ngarsa Golek Banda (Pemimpin yang haus kuasa dan
harta). Pemimpin menjalankan kepemimpinan di gurun spiritual bercirikan artifisialitas,
ketiadaan komitmen, hampa makna, dan erosi akan kepastian moral-religius.
Kepemimpinan mereka tidak terbimbing visi dan nilai (meaning and values led).
Segala cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi kebodohan, salah
satunya tentang kurikulum 2013. Banyak yang berkomentar tentang 2013, mereka
menganggap kurikulum ini adalah kurikulum simsalabim karena
menteri pendidikan terlalu terburu-buru dalam menyikapi pergantian kurikulum,
kurangnya persiapan serta naskah kurikulum tersebut juga masih rancu, dan
amburadul. Juga kurikulum tersebut tidak jauh beda dengan kurikulum sebelumnya.
Banyak pula yang berargumen, mengatakan pendidikan itu penting tetapi,
mendikbud kita yang tidak bisa menganggap pentingnya pendidikan itu. Dari segi
evaluasi pendidikan, UN salah kaprah. BSNP tidak mengajar murid di sekolah
tetapi tiap tahun menyelenggarakan evaluasi sebagai penentu kelulusan. Hingga
visi dan misi Ki Hajar Dewantara tergelincir menjadi Ing Madya Waton Suloyo
(manajernya keras kepala).
Belum
lagi, masalah tentang guru di Indonesia. Standar guru di Indonesia, kini
bernilai 40, dan masih jauh dari rata-rata Standar Internasional. Jelas, negara
kita tertinggal jauh dari bangsa lain, ini disebabkan karena guru-guru kita
bermental sebagai pengajar bukan pendidik. Sedikit sekali guru yang mendidik.
Guru yang yang terkadang prilakunya kurang atau memiliki niali 40, diberikan
waktu mengajar lebih, mau jadi apa murid-murid kita? Jutaan guru sudah memiliki
sertifikat pendidik dan memperoleh tunjangan profesional. Murid dituntut harus
bisa menjawab benar. Bagaimana murid bisa tahu kalau itu benar jika tidak
pernah tahu salah. Hilagnya jiwa pendidik dari setiap guru membuat murid
menjadi susah untuk berpikir kreatif, lalu ditambah lagi dari BSNP yang setiap
tahun hanya mengevaluasi murdi dan menentukan kelulusan.
Seperti
kata seorang demonstran Soe Hok Gie “Guru bukan dewa yang selalu benar dan
murid bukan kerbau” juga “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang
sampah”. Masyarakat meratapi runtuhnya enam pilar pendidikan karakter:
kejujuran, rasa hormat, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, dan
kewarganegaraan.
Copyright by Agung Saputra