Wednesday, November 13, 2013

Pendidikan Penting? #2


Pendidikan bukanlah kata yang asing bagi Anda semua. Pendidikan sudah merupakan sesuatu yang penting di dunia ini dan pendidikan yang membuat dunia ini berkembang pesat, terutama di negara bagian Barat. Di Indonesia, pendidikan juga sudah menjadi bagian penting untuk berkembangnya tanah Air. Akan tetapi, pendidikan di Tanah Air ini masih rancu. Jika, kita flashback tentang pendidikan di Tanah Air ini pada zaman kerajaan Hindu dan Budha. Sebelum datangnya bangsa Eropa ke negeri kita ini, Nusantara sudah dikenal dunia sebagai pusat pendidikan, pengajaran, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Khususnya, pada zaman kerajaan Hindu dan Budha. selanjutnya, diteruskan oleh zaman kerajaan Islam. Jika, ditelusuri pendidikan di Tanah Air ini sudah memiliki usia yang cukup panjang. Mulai dari zaman kerajaan hingga kini, pendidikan dari zaman ke zaman sudah memperlihatkan terjadinya pergeseran pandangan masyarakat terhadap pendidikan.

Suwardi Suryaningrat (1889-1959) adalah tokoh zaman pergerakan. Ia dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Ia mengalami masa pembuangan di Belanda (1913-1919) sebagai konsekuensi dan pilihan terlibat dalam kelompok nasionalis radikal Indische Partij (Partai Hindia) bersama Douwes Dekker Setiabudi (1879-1950) dan Cipto Mangunkusumo. Selama menjalani pengasingan, bangsawan keturunan Pakualaman ini mencurahkan perhatiannya pada gerakan pendidikan.

Pada tahun 1992, Suwardi Suryaningrat, mendirikan Pawiyatan Taman Siswa. Ia memilih nama Taman Siswa sebagai sekolah karena sekolah berartikan mengisi waktu luang dan menjadi taman Siswa. Ia berpendapat TK-SD merupakan masa emas dan SMP adalah taman dewasa (wirama) yang berisi pengetahuan dan kultural (kemasyarakatan) dengan mengajarkan tari, teater, musik, seni, dll. Suwardi Suryadiningrat, sejak mengurus Taman Siswa, berganti nama menjadi Ki Hajar dewantara. Pada tahun 1924 Taman Siswa menerima murid setingkat MULO dan SPG. Taman Siswa tidak menerapkan kurikulum pemerintah kolonial Belanda dan juga tidak menerima subsidi karena ia mengutamakan kebebasan. Pada tahun 1932 Taman Siswa telah memiliki 166 sekolah dan 11.000 murid yang tersebar sampai luar Yogyakarta.

Tanggal lahir Ki Hajar Dewantara, 2 Mei, dan sekarang diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hajar Dewantara memiliki Visi: Ing ngarsa sing tulada. Ing madya mangun karsa. Tut wuri handayani. Pemimpin itu identik dengan keteladanan. Manajer identik dengan kehendak yang kuat untuk maju dan anak buah adalah pendukung yang memberdayakan. Misi Ki hajar Deantara 3A: Asah-Asih-Asuh. Asah maksudnya kegiatan pembelajaran mesti esensial dan bermakna. Asih berarti kelemahan lembutan cinta pendidik yang merawat murid (nurturing love) dalam pembelajaran. Asuk maknanya inti kegiatan pendidikan pedagogi. Proses pendampingan orang dewasa terhadap kaum muda dalam fase tumbuh kembang (Sumardianta, J. 2013. “Pudarnya Kultur Asah-Asih-Asuh”.)

Dewasa ini, masyarakat umumnya dikalangan anak usia dini terutama di daerah pedesaan. Banyak yang masih tidak sekolah, khususnya untuk keluarga yang tidak mampu. Kondisi masyarakat tersebut, memiliki kepesimisan dalam hal pendidikan. Apakah ini dipengaruhi oleh mahalnya pendidikan? Ataukah karena memang mereka menganggap pendidikan itu tidak penting? Banyak masyarakat pedesaan yang menganggap pendidikan itu tidak penting karena mereka berprinsip untuk apa pendidikan toh nanti juga anak-anak kami akan meneruskan kami menjadi petani. Ini dikarenakan, bahwa mereka berpikir dengan konsep teori tradisional. Di lain pihak, pendidikan di Indonesia memang masih tergolong mahal, meskipun sudah ada dana BOS dari pemerintah. Akan tetapi, dana BOS hanya untuk sekolah-sekolah negeri. Sedangkan, masih banyak masyarakat yang tidak dapat masuk ke sekolah-sekolah negeri karena terlalu sulit. Hal tentang pendidikan ini mesti ditindak lanjuti karena memang bukan hanya di pedesaan saja yang masih kurang tentang pendidikan. Akan tetapi, di Ibukota juga masih kurang tentang pendidikan, masih banyak anak-anak sekolah yang ikut tawuran, bolos, judi, minum, balapan liar, dll. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Apa karena mereka kurang mendapatkan pelajaran di sekolah? Juga masih banyak lulusan SMP yang lebih memilih untuk masuk sekolah swasta daripada sekolah negeri. Khususnya, untuk anak-anak yang kurang mampu. Mereka lebih memilih masuk swasta karena mereka masih menganggap masuk sekolah negeri itu sulit.

Paradigma pemimpin baru sebatas Ing Ngarsa Golek Banda (Pemimpin yang haus kuasa dan harta). Pemimpin menjalankan kepemimpinan di gurun spiritual bercirikan artifisialitas, ketiadaan komitmen, hampa makna, dan erosi akan kepastian moral-religius. Kepemimpinan mereka tidak terbimbing visi dan nilai (meaning and values led).

Segala cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi kebodohan, salah satunya tentang kurikulum 2013. Banyak yang berkomentar tentang 2013, mereka menganggap kurikulum ini adalah kurikulum simsalabim karena menteri pendidikan terlalu terburu-buru dalam menyikapi pergantian kurikulum, kurangnya persiapan serta naskah kurikulum tersebut juga masih rancu, dan amburadul. Juga kurikulum tersebut tidak jauh beda dengan kurikulum sebelumnya. Banyak pula yang berargumen, mengatakan pendidikan itu penting tetapi, mendikbud kita yang tidak bisa menganggap pentingnya pendidikan itu. Dari segi evaluasi pendidikan, UN salah kaprah. BSNP tidak mengajar murid di sekolah tetapi tiap tahun menyelenggarakan evaluasi sebagai penentu kelulusan. Hingga visi dan misi Ki Hajar Dewantara tergelincir menjadi Ing Madya Waton Suloyo (manajernya keras kepala).

Belum lagi, masalah tentang guru di Indonesia. Standar guru di Indonesia, kini bernilai 40, dan masih jauh dari rata-rata Standar Internasional. Jelas, negara kita tertinggal jauh dari bangsa lain, ini disebabkan karena guru-guru kita bermental sebagai pengajar bukan pendidik. Sedikit sekali guru yang mendidik. Guru yang yang terkadang prilakunya kurang atau memiliki niali 40, diberikan waktu mengajar lebih, mau jadi apa murid-murid kita? Jutaan guru sudah memiliki sertifikat pendidik dan memperoleh tunjangan profesional. Murid dituntut harus bisa menjawab benar. Bagaimana murid bisa tahu kalau itu benar jika tidak pernah tahu salah. Hilagnya jiwa pendidik dari setiap guru membuat murid menjadi susah untuk berpikir kreatif, lalu ditambah lagi dari BSNP yang setiap tahun hanya mengevaluasi murdi dan menentukan kelulusan.

Seperti kata seorang demonstran Soe Hok Gie “Guru bukan dewa yang selalu benar dan murid bukan kerbau” juga “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah”. Masyarakat meratapi runtuhnya enam pilar pendidikan karakter: kejujuran, rasa hormat, tanggung jawab, keadilan, kepedulian, dan kewarganegaraan.
Copyright by Agung Saputra


No comments:

Post a Comment