Kreativitas, merupakan kata yang sangat spesial. Banyak cara untuk mengembangkan kreativitas, contohnya bermain musik dan menggambar. Memberikan ruang untuk mengekspresikan diri dan menciptakan hal-hal yang disebut imajinasi. Banyak pengertian tentang kreativitas, antara lain;
Menurut Wikipedia, daya cipta atau kreativitas adalah proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau anggitan (concept) baru atau hubungan baru antara gagasan dan anggitan yang sudah ada.
Utami Munandar (1995
: 25) kreativitas adalah suatu kemampuan umum untuk menciptakan suatu yang
baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat
diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat
hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.
Clark Moustakis (1967),
ahli psikologi humanistic menyatakan bahwa kreativitas adalah pengalaman
mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu
dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan alam, dan dengan orang lain.
Dari ketiga pengertian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kreativitas adalah cara mengekspresikan diri dengan
menghasilkan gagasan baru dari proses berpikir terhadap sebuah masalah yang
ada, melalui atribut mental atau psikologis seseorang.
Berkesenian adalah cara terbaik seseorang untuk mengembangkan
kreativitas karena dapat mengekspresikan emosinya yang sedang dirasakan secara
nonverbal.
Indonesia mungkin terlihat sangat kreatif jika dilihat dari sudut
pandang kebudayaan karena banyak hal yang dimiliki setiap daerahnya, mulai dari
pakaian adat, seni ukir, musik, dsb. Namun pada era ini, banyak dari masyarakat
Indonesia yang jauh dari kata kreatif. Hal ini dikarenakan sistem pendidikan
yang selama ini diterapkan di Indonesia bersifat mematikan kreativitas anak.
Sistem pendidikan yang menurut para guru benar tanpa disadari sudah mematikan
nilai kreatif.
Krisis kreativitas di Indonesia sudah lama
terjadi. Ketika para pelukis Bandung memamerkan karya lukisan mereka di Jakarta
pada tahun 1954, kritikus seni Indonesia, Trisno Sumardjo, secara mengejek
menyebut Bandung sebagai “Laboratorium Barat”. Ia menganggap rendah ciri barat
pada karya-karya yang dibuat oleh para seniman Indonesia di Bandung
dibandingkan karya-karya yang realistis dan kemasyarakatan dari para seniman
Yogyakarta. Seniman-seniman Yogyakarta pada masa itu sudah dianggap bisa
menghasilkan karya-karya lukisan yang dapat mewakili sebagai karya khas
Indonesia. Sedangkan seniman-seniman lain masih mencari-cari jati dirinya
masing-masing.
Kemiskinan kreativitas di Indonesia saat ini
sudah terlihat jelas pada sekarang ini.
Menganggap budaya luar lebih tinggi kastanya daripada budaya masyarakat
Indonesia sendiri sehingga menghasilkan kemalasan berpikir secara gamblang
untuk menghasilkan suatu hal atau gagasan baru. Dalam hal fashion, desainer Indonesia masih terpaku dengan konsep fashion barat, pola hidup westernisasi
saat ini sangat menambahkan nilai krisis di Tanah Air.
Pada taman kanak-kanak, anak-anak diajarkan
bagaimana cara mewarnai yang benar, bagaimana cara menggambar yang benar, dan
cara-cara yang ’benar’ lainnya menurut versi guru-guru TK tersebut. Tanpa
disadari hal itu mamatikan nilai kreatif anak-anak. So, hal itu dapat memblokir pola kreatif anak. Padahal saat masa TK seharusnya kemampuan
untuk berpikir dan berimajinasi anak
lebih dikembangakan mendukungnya untuk berimajinasi,
terbuka terhadap hal baru, dan ide-ide yang tidak biasa tanpa takut melakukan kesalahan inilah
yang kemudian akan menyebar ke area lain dalam otak/pikiran anak sehingga anak
akan mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam menyelesaikan masalah, memahami
bacaan, dan berpikir analitis.
Jika, Indonesia masih dalam
pergerakan yang mematikan nilai kreativitas. Hal ini akan mengalmi miss cultural atau kepunahan budaya.
Masyarakat Indonesia akan kehilang jati dirinya sebagai bangsa multikultural.
Kurangnya nilai seni membawa Indonesia jauh dari kreativitas.
Penekanan
pada mata pelajaran tertentu di sekolah juga memengaruhi kegiatan anak di luar
sekolah. Les anak yang notabene lepas dengan kegiatan sekolah, sebagian besar
pun berupa pelajaran tambahan yang sifatnya mendukung pelajaran di sekolah,
seperti les matematika dan Bahasa Inggris. Akan tetapi anak juga membutuhkan
nilai seni untuk mengembangkan kreativitasnya, hal itu akan berdampak positif
dalam pelajaran dan kurikulum sekolah karena anak akan lebih suka berpikir
kreatif dengan sendiri daripada mencontek.
Ada juga
orangtua yang sudah berpikiran untuk mengarahkan anaknya kursus di bidang seni,
misalnya kursus melukis, menari, memainkan alat musik, dsb. Tapi sayangnya,
minat untuk menyalurkan anak untuk berkesenian itu kerap berbenturan dengan
biaya, mengingat harga yang dibanderol tempat kursus biasanya relatif mahal.
Belum lagi peralatannya yang umumnya harus disediakan sendiri.
Oleh
karena itu, peran pemerintah juga sangat dibutuhkan untuk memberikan ruang dan
fasilitas terhadap anak untuk berkesenian karena hal itu untuk meningkatkan
nilai kreativitas, dalam jangka panjang dapat memajukan bangsa itu sendiri.
Setiap institut pendidikan memiliki
peran penting dalam pengembangan nilai kreativitas di Indoneisa. Akan
lebih mudah bagi seseorang untuk kreatif jika dia berada dalam lingkungan yang
mendukungnya untuk menjadi kreatif yaitu lingkungan yang mendukungnya untuk
berimajinasi, terbuka terhadap hal baru, dan ide-ide yang tidak biasa tanpa takut melakukan kesalahan. Belajar dengan
cara memanfaatkan proses kreasi dalam otak untuk kemudian dirangsang agar otak,
berpikir sehingga menghasilkan gagasan baru dalam penyelesaian. out of the box.
Agung Saputra
Jakarta, 5 Januari 2016
RIndu Keinan.


